“kamu kan tahu
latar belakang aku sebagai aktivis feminisme bersama kak ulfa, aku tetep bisa
sebagai aktivis meskipun berteater. Menyuarakan perjuangan kawan-kawan feminis
melalui teater.” Begitu yang dibilang oleh Suwarni alias Adek Ceguk saat
saya menanyakan alasannya ingin membawakan naskah Perempuan Menuntut Malam.
Naskah monolog
itu ditulis bersama oleh Rieke Diah Pitaloka, Faiza Mardzoeki dan Tati
Krisnawaty. Para penulis itu menemukan kegelisahan yang sama atas situasi
perempuan di Indonesia. Kegelisahan ini lantas dituangkan menjadi naskah
monolog tiga perempuan dan terbagi dalam tiga naskah. Ketiga naskah itu adalah
tentang Perempuan Politisi Anggota Parlemen, berjudul 'Pagi Yang Penuh'.
Monolog kedua berjudul 'Sepiring Nasi Goreng', kisah seorang 'Ibu Rumah
Tangga'. Ketiga, monolog 'Tarian Sang Empu' berkisah tentang Perempuan Kawin Bawah
Tangan. Naskah ini bicara soal Cinta, Rumah, Politik dan Kekuasaan yang
merupakan hasil perenungan dan pengamatan sehari-hari. Ceritanya cukup akrab
dengan kehidupan kita di Indonesia pada umumnya. Ini adalah kegelisahan kaum
perempuan di mana saja. Sebelumnya pernah dipentaskan antara lain di Jakarta, Banda
Aceh dan Bandung pada tahun 2008.
Teater Omponk merencanakan garapan ini dipertunjukan
pada acara Dramakalafest 2, Februari
2013 dengan memilih satu bagian monolog dari naskah tersebut. Tidak tertutup
kemungkinan proses kreatif ini berkelanjutan dengan menampilkan keseluruhan
naskah.
Hal pertama yang harus dipersiapkan adalah melakukan
pengolahan terhadap tubuh Adek sebagai pemain pada monolog ini untuk bisa
memasuki ‘tubuh yang lain’: untuk mencapai elastisitas tubuh, rileks, lentur,
dan kokoh. Berarti ini juga harus melatih kesabarannya: bergeraklah dengan
penuh kenikmatan. Bergerak dengan keikhlasan, sebuah penyerahan diri. Gerakkan
seluruh bagian tubuh. Adek sudah belajar menari bersama Emily Wandem, Nena dan
Hestri Chandra. Dan yang penting bukan menghafal gerakan tetapi mengolah dan
menangkap rasa di balik gerakan tubuh.
Juga bergerak dengan konteks. Melatih pergerakan tubuh
dengan mengusung sebuah tema, sebuah imajinasi, sebuah cerita, sebuah hubungan
yang disasar. Konteks harus selalu dihadirkan pada setiap sesi latihan agar
teater tidak menjadi rumah gila, demikian pendapat Afrizal Malna pada Workshop
Teater Membaca Tradisi, Jakarta, 2012. Ambil sesuatu yang spesifik lalu
lakukan. Sesuatu yang kita kenali dan sangat yakin untuk melakukannya. “Seorang
politisi turun dari mobil.” “Seorang ibu mengantar piring kotor ke dapur.”
Metode-metode latihan harus selalu ditemukan. Ini
tugas saya sebagai sutradara. Konteks-konteks latihan perlu menggenang dulu di
kepala saya, beberapa hari sebelum latihan. Memang membutuhkan cara-cara untuk
menghantarkan kerja penyutradaraan. Sudah tidak bisa lagi sekadar
penginstruksian, pengarahan verbal, tetapi ada kebutuhan terhadap
strategi-strategi yang perlu disusun dan dilaksanakan untuk pencapaian
ketajaman latihan dan pertunjukan. Strategi-strategi ini juga yang akan menghantarkan
aktor ke titik sasarannya yang ‘sampai.’ Dan tubuh sutradara adalah yang
pertama kali sebagai perangsang untuk tubuh para aktor di tempat latihan.
Kemudian, di waktu-waktu sela, kita bisa berdiskusi
soal feminisme.(*) Dendi Madiya,
19-12-2012
Sumber Informasi tentang Perempuan Menuntut Malam:
Maaf, saya Indah. saya boleh minta naskah-naskah tersebut?
BalasHapus